"Suatu hari terdengar percakapan di radio antara penyiar dan relawan gempa. “Apa yang Anda lakukan di pengungsian pada waktu itu?” tanya penyiar kepada relawan. “Kita mengumpulkan anak-anak di pengungsian dan kita mendongeng untuk mereka,” jawab relawan itu.Hari yang lain terdengar percakapan wartawan dengan seorang kepala divisi pada sebuah perusahaan dalam tayangan berita di televisi. ”Pak, apakah benar perusahaan Bapak melakukan hal itu?” tanya wartawan. Kepala divisi itu menjawab,”Yang jelas, kita menyiapkan sarana yang memang diperlukan. Mengenai kabar tentang hal itu, sampai saat ini kita belum bisa menjawabnya.”
Mendengar percakapan di atas, dalam benak saya timbul persepsi bahwa dalam percakapan pertama, penyiar radio seolah-olah bersama dengan relawan mengumpulkan anak-anak pengungsi dan keduanya mendongeng di hadapan mereka dan dalam percakapan kedua, seolah-olah si wartawan ikut menyiapkan sarana bersama dengan kepala divisi. Persepsi demikian bisa muncul karena relawan dan kepala divisi tersebut menggunakan kita, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna ’aku dan engkau (sekalian)’, padahal maksudnya adalah saya atau kami.
Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, salah satu pronomina persona tunggal bahasa Indonesia yang umum digunakan dalam situasi formal adalah saya. Meskipun demikian, sebagian orang memakai kami dengan arti ’saya’ dengan maksud untuk tidak terlalu menonjolkan diri. Sementara itu, pronomina persona pertama jamak bahasa Indonesia ada dua, yaitu kami dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, kami mencakupi pembicara/penulis dan orang lain di pihaknya, tetapi tidak mencakupi pendengar/pembaca dan orang lain di pihak pendengar/pembaca. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya kita mencakupi pembicara/penulis dan pendengar/pembaca, serta mungkin pula pihak lain. Perhatikan contoh berikut.
(1) Kami akan naik kereta api.
(2) Kita akan naik kereta api.
Pada kalimat (1) terlihat bahwa pendengar/pembaca tidak akan ikut, sedangkan pada kalimat (2) pendengar/pembaca akan ikut.
Dengan ketentuan tersebut, seharusnya relawan dan kepala divisi tadi tidak menggunakan kita, tetapi saya atau kami. Penggunaan kita oleh mereka menimbulkan makna yang ambigu karena sebenarnya mereka tidak mengikutsertakan penyiar atau wartawan dalam pembicaraan.
Mengapa banyak penutur bahasa Indonesia akhir-akhir ini sering menggunakan kata kita, padahal yang dimaksud adalah saya atau kami? Dalam bahasa Inggris, we, bermakna ’kami, kita’ dan menurut Muhajir (1984:166), kita dalam bahasa Betawi bermakna ’kita, saya’ bergantung konteks pemakaian. Mungkin saja yang terjadi terhadap kita tadi adalah akibat pengaruh dua bahasa tersebut, yaitu bahasa Betawi dan bahasa Inggris, bahasa yang sangat sering dicampur dengan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Indonesia ketika berbicara dalam bahasa Indonesia.
Pengucapan kata kita yang bermakna ambigu oleh relawan dan kepala divisi tersebut di atas atau juga oleh penutur bahasa Indonesia yang lain, memang hanya terbatas pada tuturan lisan. Artinya, sejauh ini dalam bahasa Indonesia tulis, kami masih ditulis kami dan kita juga masih ditulis kita. Namun agaknya, kita telah mengalami perluasan makna karena kita dalam tuturan lisan cenderung mempunyai makna ’kita, kami, saya’. Apabila hal itu berlangsung terus menerus dan menjadi kebiasaan, meskipun hanya terjadi dalam tuturan lisan, bukan tidak mungkin lama-kelamaan kami akan tergantikan oleh kita.
dimuat di Rubrik Bahasa Kita, Intisari, Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar