20 Februari 2008

Tuan Rumah di Negeri Sendiri


Tuan rumah di negeri sendiri? Ah, indahnya! Seperti itukah orang Indonesia di negeri Indonesia? Jawabnya: Tidak. Orang Indonesia di Indonesia justru bagaikan tamu. Bagaimana tidak? Begitu penuhnya negeri ini dengan bahasa asing. Pun melupakan kaidah penulisan kata-kata bahasa asing dalam kalimat bahasa Indonesia.

Melihat sepanjang jalan di negeri ini kita bagaikan berada di tempat asing. Tengok kiri kita membaca tulisan ’The Best Pijat In Town’ di papan iklan. Tengok kanan kita membaca tulisan ’Jalur Bus Way’ di papan penunjuk jalan. Sampai di rumah kita menonton televisi dan kita membaca tulisan ‘buat apa jadi follower kalau bisa jadi trendsetter’ pada sebuah iklan sampo. Wah!!

Mungkin orang Indonesia selalu menganggap luar negeri lebih hebat dari negeri sendiri. Hal itu agaknya berdampak pada bahasa Indonesia. Orang Indonesia menjadi tidak menghargai bahasa Indonesia.

Masuk ke restoran, misalnya, pemiliknya orang Indonesia, juru masaknya orang Indonesia, dan konsumennya pun orang Indonesia, bahkan tak pernah ada orang asing yang makan di situ sejak restoran itu berdiri, tetapi jargon restoran itu berbunyi ’feel the different taste’. Pemilik merasa sangsi restorannya akan laku dan juru masak jengah memasak di restoran itu serta konsumen akan melongo saat makan di restoran itu seandainya ’feel the different taste’ tadi diubah menjadi ’rasakan bedanya, bedakan rasanya’.

Seorang anak kecil pernah terpeleset, lagi-lagi di restoran, saat lantai restoran itu licin karena baru saja dipel. Mengapa? Rupanya si pengasuh tidak mengerti apa arti tulisan ’Caution. Wet floor’ yang diletakkan di atas lantai yang basah itu.

Betapa asingnya kita, orang Indonesia, di negeri Indonesia. Rasanya kita tidak sedang berada di negeri kita, tetapi entah di mana. Tulisan-tulisan di jalanan saja menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Belum lagi iklan-iklan di televisi. Ditambah lagi tuturan lisan orang Indonesia yang makin hebat saja jika dicampur-campur dengan bahasa Inggris. Akhirnya, yah, semua itu dianggap lumrah. Tak ada solusi.

Siswa menyepelekan pelajaran bahasa Indonesia, tetapi mati-matian belajar bahasa Inggris, bukan hal mencengangkan di sini. Siswa merasa pintar karena meraih nilai 9 untuk mata pelajaran bahasa Inggris, meskipun untuk mata pelajaran bahasa Indonesia dia hanya mendapat nilai 7.

Saat kontes miss universe, wakil dari Indonesia yang kebetulan saja salah dalam berbicara dengan bahasa Inggris dikritik habis-habisan di infotainment dan di koran-koran serta di tabloid. Padahal, wakil dari Jepang justru menggunakan penerjemah, sementara dia sendiri tetap bercas-cis-cus dengan bahasa Jepang.

Tuan rumah di negeri sendiri. Di Indonesia, hal semacam itu saat ini mungkin masih sebatas mimpi. Namun, jangankan merealisasikan mimpi itu, orang Indonesia malah sudah lupa bahwa mereka bisa jadi kesulitan dalam berkomunikasi antarsuku tanpa adanya bahasa Indonesia!

18 Februari 2008

Di Mana Kami Sekarang?

"Suatu hari terdengar percakapan di radio antara penyiar dan relawan gempa. “Apa yang Anda lakukan di pengungsian pada waktu itu?” tanya penyiar kepada relawan. “Kita mengumpulkan anak-anak di pengungsian dan kita mendongeng untuk mereka,” jawab relawan itu.Hari yang lain terdengar percakapan wartawan dengan seorang kepala divisi pada sebuah perusahaan dalam tayangan berita di televisi. ”Pak, apakah benar perusahaan Bapak melakukan hal itu?” tanya wartawan. Kepala divisi itu menjawab,”Yang jelas, kita menyiapkan sarana yang memang diperlukan. Mengenai kabar tentang hal itu, sampai saat ini kita belum bisa menjawabnya.”

Mendengar percakapan di atas, dalam benak saya timbul persepsi bahwa dalam percakapan pertama, penyiar radio seolah-olah bersama dengan relawan mengumpulkan anak-anak pengungsi dan keduanya mendongeng di hadapan mereka dan dalam percakapan kedua, seolah-olah si wartawan ikut menyiapkan sarana bersama dengan kepala divisi. Persepsi demikian bisa muncul karena relawan dan kepala divisi tersebut menggunakan kita, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna ’aku dan engkau (sekalian)’, padahal maksudnya adalah saya atau kami.

Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, salah satu pronomina persona tunggal bahasa Indonesia yang umum digunakan dalam situasi formal adalah saya. Meskipun demikian, sebagian orang memakai kami dengan arti ’saya’ dengan maksud untuk tidak terlalu menonjolkan diri. Sementara itu, pronomina persona pertama jamak bahasa Indonesia ada dua, yaitu kami dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, kami mencakupi pembicara/penulis dan orang lain di pihaknya, tetapi tidak mencakupi pendengar/pembaca dan orang lain di pihak pendengar/pembaca. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya kita mencakupi pembicara/penulis dan pendengar/pembaca, serta mungkin pula pihak lain. Perhatikan contoh berikut.

(1) Kami akan naik kereta api.
(2) Kita akan naik kereta api.

Pada kalimat (1) terlihat bahwa pendengar/pembaca tidak akan ikut, sedangkan pada kalimat (2) pendengar/pembaca akan ikut.
Dengan ketentuan tersebut, seharusnya relawan dan kepala divisi tadi tidak menggunakan kita, tetapi saya atau kami. Penggunaan kita oleh mereka menimbulkan makna yang ambigu karena sebenarnya mereka tidak mengikutsertakan penyiar atau wartawan dalam pembicaraan.

Mengapa banyak penutur bahasa Indonesia akhir-akhir ini sering menggunakan kata kita, padahal yang dimaksud adalah saya atau kami? Dalam bahasa Inggris, we, bermakna ’kami, kita’ dan menurut Muhajir (1984:166), kita dalam bahasa Betawi bermakna ’kita, saya’ bergantung konteks pemakaian. Mungkin saja yang terjadi terhadap kita tadi adalah akibat pengaruh dua bahasa tersebut, yaitu bahasa Betawi dan bahasa Inggris, bahasa yang sangat sering dicampur dengan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Indonesia ketika berbicara dalam bahasa Indonesia.

Pengucapan kata kita yang bermakna ambigu oleh relawan dan kepala divisi tersebut di atas atau juga oleh penutur bahasa Indonesia yang lain, memang hanya terbatas pada tuturan lisan. Artinya, sejauh ini dalam bahasa Indonesia tulis, kami masih ditulis kami dan kita juga masih ditulis kita. Namun agaknya, kita telah mengalami perluasan makna karena kita dalam tuturan lisan cenderung mempunyai makna ’kita, kami, saya’. Apabila hal itu berlangsung terus menerus dan menjadi kebiasaan, meskipun hanya terjadi dalam tuturan lisan, bukan tidak mungkin lama-kelamaan kami akan tergantikan oleh kita.

dimuat di Rubrik Bahasa Kita, Intisari, Desember 2007